Sabtu, 28 Maret 2015

Cerpen Tentang Rahasia Cinta



Antara Aku dan Hatimu
Oleh: Mida Al Makwa



Embun bercerita banyak tentang siklus air pada dedaunan, disisi lain ia menakuti stomata untuk melajukan transpirasi, ajaibnya hijauan itu tampak segar dipingit fajar, padahal dalam waktu yang sama ia berkemas untuk bertemu mentari. Segala aktivitas terjalani, tak perduli seberapa kompleksnya siklus yang terjadi, semua bernarasi tentang Kau ya Ilahi, tentangku yang juga hasil kreasiMu.
Lucunya bagiku adalah ketika pernjak menyahuti ucapan Ibu, seolah makhluk bersayap ini mendukung waktu mengalihkan masaku, mungkin benar 23 tahun sudah cukup bagiku.
 “Katanya selesai wisuda, tapi mana buktinya?, jangan bilang mau S2 dulu”. Aku beringkas sambil menghampiri manusia sejuta harapan
“Ibu, aku pergi dulu, Assalamu’alaikum” ku biarkan langkah ini menuju pintu
 Wa’alaikumusalam, Ini hari minggu, masih pagi, mbok ya sarapan dulu, ada acara dimana lagi?” ku raih tangannya yang berkulit lebih lentur dari 13 tahun yang lalu
 “Aku tidak lama, hanya mengantarkan ini kerumah siswaku” aku menunjukkan tas sandang yang berisi beberapa majalah D’Rise pesanan Iva dan Alka.
Kepulan asap keluar dari si Biru, tunggangan setiaku yang terkadang berhenti mendadak karena kehausan bensin. Hanya 30 menit saja, jadi tak perlu ku ceritakan bagaimana kisah perjalananku ke rumah Iva dan Alka sampai aku kembali lagi, sebab memang tak ada peristiwa menarik didalamnya, kecuali senyuman mereka.
“Trilit.. tlililit... “ Black Bersenter memanggil, pertanda ada yang menghubungiku via hanpone. “Assalamu’alaikum... mbak Rini?...” Bahagia sekali rasanya, sudah lama tak bersua dengan sahabatku yang satu ini, meski dalam dunia maya.
Wa’alaikumusalam.. iya adek, ini mbak. Kabar adek gemana?” suara mbak Rini agak terganggu, ku kira Wildan merebut handpone Uminya.
“Alhamdulillah mbak, Firda dalam keadaan baik. Mbak dan keluarga gemana kabarnya, sehat?” sudah ku duga, dan ternyata betul, beliau dalam keadaan sehat. Alhamdulillah, bicara mengenai kabar, nikmat kesehatan merupakan kesempatan terindah yang terkadang terabaikan oleh syukur hingga tak lagi terealisasikan dengan uraian aktivitas bermanfaat.
By the way.. dek Firda sudah pernah dikhitbah kah?” mbak Rini semangat sekali menanyakan hal ini, entahlah aku merasa kurang nyaman dengan pertanyaannya.
“Sudah pernah ada mbak, tapi enggak sampai ke proses ta’aruf” aku menjawab apa adanya, sebetulnya aku malu karena sudah pasti mbak Rini akan menanyakan lebih lanjut.
“Lha kenapa? Jangan kebanyakan milih to, yang pentingkan pemahaman dan aplikasi agamanya sudah mantap” aku mengguk menyetujuinya, Astagfirullah.. sampai lupa jika via handpone.
“Dek Zuhri juga rencananya nanti malam mau menghitbah seorang nisa, tapi alamat rumahnya jauh sekali, jadi mbak belum tau ikut berangkat ato ndak” mataku semakin menerawang jauh, ada rasa yang hilang di organ ini, hanya aku dan Penguasa hati yang tahu.
“Semoga lancar ya mbak, dan diterima oleh nisanya, tapi kalo mbak ikut apa enggak kasian dengan Wildannya?” ku tuluskan do’a dan ingin rasanya aku menghamburkan tangisku.
“Iya dek, kan maunya dek Zuhri itu menghitbah langsung ngelamar” What?!! Hiks.. hiks.. semua boleh tau jika aku salah memelihara rasa ini, tapi hatiku juga tak ingin semua jadi tahu bila aku kecewa dengan kabar ini. Aku belum mengakui bila ada rahasia hati antara aku dengan Penguasa cinta. Tapi jujur, aku berusaha bahagia, karena ini lebih baik daripada semua harapanku. Ahh.. perasaanku semakin liar bila tak segera kutepis dengan segala zikir pembersih hati.
“Halo,.. dek firda?” Suara mbak Rini menyadarkan lamunan batinku.
“Eh, iya mbak, emang dimana rumah nisa yang akan dikhitbahnya?” aduh, kenapa aku jadi kepo
“Mbak juga belum faham, o.iyaa.. aktivitas adek sekarang apa? pasti tambah sibuk, karna mbak dengar sekarang ngajar sambil jahit..” dengar dari mana pun aku tak tahu.
“Oh.. kalo ngajarnya masih honorer mbak, jahitnya juga masih belajar” menjadi keduanya adalah impianku sedari SMA, pilihan telah memberikan jawabannya kepadaku. Guru dan Penjahit, seharusnya ada tambahan saliha dibelakangnya.
“Kalo malem, apa jahit juga? Malam senin stay dirumah kan?” kalau hari minggu aku adalah seorang Pengacara, pengangguran banyak acara. Terkadang asyarku ada dijalan, magribku ada di tempat tujuan, minggu adalah hari palling efektif untukku berkelana. Memang betul kata Mbak Luna Musyrifahku, “berdakwah jangan hanya di hari minggu saja, tapi disetiap menit ketika ada kesempatan”.
“Kalo malem senin biasanya pukul 19.30 mbak, Firda baru ada di rumah” terlalu malam untuk ukuran seorang gadis yang keluar dari siang hari.
“Jangan terlalu malam, ndak baik, mending ngisi kajiannya kalau siang saja” ku yakini sebelumnya, mbak Rini akan katakan ini.
“Iya mbak, tapi rutenya tak jauh kok, masih diseputaran desa ini” sebenarnya sudah kuatur jadwal halaqoh Winda dan Afrin, tapi entahlah sampai kapan mereka renggang dari kesibukannya.
“Yang penting hati-hati, jangan malam ya kalo bisa. Udah dulu ya  dek, mbak mo bantu Mamak nyiapin bahan yang mau dibawa dek Zuhri nanti malam. Wassalamu’alaikum...” Mbak Rini katakan itu lagi, sebenarnya tak salah, aku saja yang merasa bersalah karena telah menyimpan nama keponakannya di buku rahasia hati. Aku tak mengerti kenapa rasa ini menghadiri asaku, padahal sudah kutepis dengan Istighfar berkali-kali, ya Allah maafkan aku, mohon jaga rahasiaku ini, jangan biarkan selain dirimu tahu bila sebelum hari ini aku menaruh harapan kepadanya. Aku semakin yakin dan bersemangat untuk memantaskan diri dengan kata Penguasa rasa, wanita yang baik hanyalah untuk pria yang baik.
“oke, Wa’alaikumussalam..” ku eratkan genggamanku, seolah Bbku tak mau tahu  dengan kegalauanku.
Sudah siang, sudah kutepis segala rasa yang sempat berkecamuk, sudah seharusnya aku bersiap kerumah Alka, lalu mengantarkan pesanan Jilbab bu Lika, halaqoh di rumah mbak Luna, dan ke rumah Afrin untuk mengisi kajian Islam, lalu malamnya aku akan menyiapkan soal ujian untuk siswaku dan menjahit pesanan Jilbab mama Alka. Jadwalku cukup padat, paling tidak aku memiliki kesibukan yang bermanfaat yang juga bisa membuatku lupa dengan obrolan dengan mbak Rini. Ku angkat si hitam, ransel penyemangat pundak, pemantap langkah, dan penguat punggung yang mengikutiku kemana aku pergi.
“Bu, aku berangkat.. ada kakak didepan” aku tak salim karna posisi Ibu di kamar mandi, ku lalui kakak yang berada di ruang tamu.
“Pulang jam berapa nanti Da’?” tumben kak Rafa pagi ini kerumah ibu, mungkin ada hal yang ingin dibicarakan, karena biasanya jam segini ia sudah pergi bekerja.
“Jam delapanan kak kayaknya” kukira aku akan pulang lebih malam dari biasanya, aku ingin ngobrol dulu seputar hati dengan Afrin, sahabatku yang pekan depan akan melangsungkan pernikahan.
”Kalo bisa usahakan pulang sebelum jam delapan” agak heran, tak seperti biasanya, apa mungkin kak Rafa belum mengerti kesibukanku? Ya mungkin saja.
Insya Allah..” aku tak bisa pastikan, tapi akan aku usahakan, terpakasa ku urungkan niat untuk berlama-lama di rumah Afrin.
Senja bermega menguaskan jingga hingga menghitam, bulat orange juga sudah tampak tidur dibalik genting-genting desa, sungguh tak ada yang membosankan ketika alam bedeskripsi tentang Mahanya Sang Creator. Keasyikan waktu dan jarak mengaktivitaskan agendaku hari ini, kuingat alarm menjadwalkanku pulang detik ini juga.
Assalamu’alaikum...” rumahku ramai tak seperti biasanya, ada beberapa motor parkir di halaman, juga banyak sendal dihadapan pintu. Langkahku terhenti, jariku bergetar memegang kusen pintu, aku tak mampu berkata, dadaku sesak sekali, air mata ini ingin kutumpahkan hingga menjadi lautan yang menganak sungai. Aku bergegas mensalimi Ibu, Ayah, kak Rafa dan tamu wanita yang duduk tepat disebelah seorang laki-laki yang sering kudengar namanya.
“Kok malam pulangnya?..” wanita ini menambah keteganganku
“Oh.. iya bu, karena baru selesai” aku tersenyum malu
Aku masuk ke kamar, ku lihat semua barang mengikutiku tersenyum. Aku pura-pura tidak tahu saja, agar mereka menjelaskan sendiri bagaimana kronologinya hingga kak Zuhri dan orangtuanya bisa sampai disini. Kubiarkan mereka berbincang tentang tanaman di kebun, tentang musim hujan, tentang pemerintah, tentang PLN yang sering mati, dan yang terakhir tentang pernikahan. Tak bisa kuceritakan sepenuhnya sahabat, bagaimana bahagianya aku malam itu hingga tiga minggu berlalu dan kini kami telah menjadi sepasangsuami istri yang menikah dengan resepsi Islam syar’i.
“kenapa kau memilih aku?” aku memandangnya dengan mimik yang kubuat kesal.
“Karna hatiku telah menetapkan kamu..” aku  belum pernah melihat senyumnya sedekat ini, aku ikut tersenyum meski belum mengerti apa alasan yang sebenarnya.
“lalu kenapa tidak bertanya dulu denganku, bila kau ingin datang mengkhitbah, lalu membicarakan pernikahan atau ta’aruf dulu? Kau melakukannya dengan urutan yang tak biasa, kau menyatukan dua proses ini” aku menghujani pertanyaan yang sungguh aku belum mengerti jawabannya.
“Bukankah kau bahagia ketika aku melakukan ini?..” ahh, aku tak mampu berkata yang lain lagi, aku juga tak mampu mengelak karna ini benar adanya. Syukur kami mengembang dalam muhasabah dan tahajud cinta.
Kertas yang ku remas tiga minggu lalu, yang ku rapikan tiga jam lalu, kuberikan padanya, Pangeran hati.  Di bukannya perlahan dan kulihat Ia tersenyum.

Senin, 22 November 2014
Bukan dokter yang pintar, bukan polisi yang tegas, bukan artis yang tampan, juga bukan pengusaha yang kaya, tapi dikau yang salih, yang menjadikan Islam sebagai poros hidup, yang menjadikan sabar sebagai teman ujian, yang mampu mencairkan baja menjadi zam-zam, yang mampu menangis saat bahagia, yang mampu bahagia ketika luka.
Aku dan kau... akan satu, akan menapaki ruang rindu dalam tahajud dan duha yang sama. Ada satu profesi yang ingin ku banggakan dihadapan Allah kelak diawal pintu kehidupan yang baru, kehidupan yang  tiada mampu ku jangkau dengan akalku saat ini.
 “Dia pengemban dakwah tangguhmu ya Rosull” lantas ku lihat guratan senyum dipipinya... dan kau saat  itu ada dihadapanku, kau telah menantikanku disana dan kau perkenalkan aku dengan manusia paling mulia, paling terkenal disepanjang zaman,  bukan hanya kau yang ku lihat tetapi ada malaikat-malaikat terindahku...  kedua orangtua kita, anak-anak kita dan saudara-saudara kita. Aku ingin menjadi mujahid bersamamu, meninggal dalam keadaan khusnul khotimah bersamamu, hingga kita bisa selamatkan 40 orang yang kita cinta dari api neraka. Aku merindukanmu disetiap waktu, merindukan nasihat-nasihatmu kelak yang mampu meluluhkan pemikiran liberal ku.
Ya Robbi andai aku boleh  meminta satu nikmat terindah lagi dan aku tahu Engkau slalu memberikan nikmat-nikmat  terindahMu disetiap waktu, disetiap tarikan nafasku tanpa lupa n khilaf barang semenitpun. Ya Allah aku merindukan jodoh yang salih, yang mampu menjadikan aku wanita saliha karnaMu. Bantu aku memantaskan diri ya Robb, sehingga aku bertemu dengannya dalam kesiapan, dalam keadaan terbaik, dalam keadaan yang mulia.
“Akhi... ku tunggu dirimu dalam muhasabahku, dan tulisan ini akan kau baca setelah kau dan aku dalam keberkahan cinta. Kau boleh tau bila aku telah lama menantimu. Hari ini, kmarin, minggu lalu, dan bahkan bulan lalu aku sudah merindukanmu. Andai kini kau juga merindukan seseorang, cobalah bersabar, agar aku juga bisa bersabar. Kita siapkan segalanya dulu ya.. ilmu, agama, dana, dan apa-apa yang akan menjadi kebutuhan kita kelak. Kau belajar ngaji ya agar nanti kau bisa ajari aku dan anak-anak kita mengaji, kau belajar dakwah ya, agar kau bisa tuntun aku hingga kita bisa bersama-sama berjuang, kau juga harus belajar bersabar, agar nanti kau bisa hadapi aku dan keluargaku dengan baik, kau tahan dulu rasa cintamu hingga kau ucapkan setelah kita halal..”
      Cinta dalam diam, banyak yang menyebut kalimat itu, memang dalam sekali maknanya, berbeda arti kah dengan diam-diam suka?? Jelas berbeda. Cinta dalam diam memberikan sejumlah perbaikan diri, ada muhasabah diri disana. Bukan berarti kita fokus pada kekurangan, tapi kita fokus pada perbaikan, fokus pada penambahan dari sesuatu yang kurang itu agar pas, tidak lebih tidak kurang. Cantik juga relatif, kata akhi salih wanita itu dikatakan cantik atas kebaikan agamanya, atas hijabnya, atas kemuliaan akhlaknya, dan tak bisa dipungkiri seorang preman pun mengingkan istri yang saliha, yang baik agama dan akhlaknya. Lalu bagaimana dengan firman Allah yang menyatakan bahwa “wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, begitu pula sebaliknya”.. itu artinya kita harus bermuhasabah lebih keras lagi, agar menjadi wanita yang baik. Eiittss.. niatnya pun harus karna Allah.
Aku takut ya Robb, hijabi hati ini dari cintaku kepada yang belum halal. Aku ingin menambah cintaku agar teryakinkan olehMu. Aku ingin merasakan bagaimana indahnya mencintaiMu diatas cinta-cinta yang lain.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar