Antara
Aku dan Hatimu
Oleh: Mida Al
Makwa
|
Embun
bercerita banyak tentang siklus air pada dedaunan, disisi lain ia menakuti
stomata untuk melajukan transpirasi, ajaibnya
hijauan itu tampak segar dipingit fajar, padahal dalam waktu yang sama ia
berkemas untuk bertemu mentari. Segala aktivitas terjalani, tak perduli
seberapa kompleksnya siklus yang terjadi, semua bernarasi tentang Kau ya Ilahi,
tentangku yang juga hasil kreasiMu.
Lucunya
bagiku adalah ketika pernjak menyahuti ucapan Ibu, seolah makhluk bersayap ini
mendukung waktu mengalihkan masaku, mungkin benar 23 tahun sudah cukup bagiku.
“Katanya selesai wisuda, tapi mana buktinya?,
jangan bilang mau S2 dulu”. Aku beringkas sambil menghampiri manusia sejuta
harapan
“Ibu,
aku pergi dulu, Assalamu’alaikum” ku
biarkan langkah ini menuju pintu
“Wa’alaikumusalam,
Ini hari minggu, masih pagi, mbok ya
sarapan dulu, ada acara dimana lagi?” ku raih tangannya yang berkulit lebih
lentur dari 13 tahun yang lalu
“Aku tidak lama, hanya mengantarkan ini
kerumah siswaku” aku menunjukkan tas sandang yang berisi beberapa majalah
D’Rise pesanan Iva dan Alka.
Kepulan
asap keluar dari si Biru, tunggangan setiaku yang terkadang berhenti mendadak
karena kehausan bensin. Hanya 30 menit saja, jadi tak perlu ku ceritakan
bagaimana kisah perjalananku ke rumah Iva dan Alka sampai aku kembali lagi,
sebab memang tak ada peristiwa menarik didalamnya, kecuali senyuman mereka.
“Trilit..
tlililit... “ Black Bersenter
memanggil, pertanda ada yang menghubungiku via hanpone. “Assalamu’alaikum... mbak Rini?...” Bahagia sekali rasanya, sudah
lama tak bersua dengan sahabatku yang satu ini, meski dalam dunia maya.
“Wa’alaikumusalam.. iya adek, ini mbak.
Kabar adek gemana?” suara mbak Rini agak terganggu, ku kira Wildan merebut handpone Uminya.
“Alhamdulillah
mbak, Firda dalam keadaan baik. Mbak dan keluarga gemana kabarnya, sehat?”
sudah ku duga, dan ternyata betul, beliau dalam keadaan sehat. Alhamdulillah, bicara mengenai kabar,
nikmat kesehatan merupakan kesempatan terindah yang terkadang terabaikan oleh
syukur hingga tak lagi terealisasikan dengan uraian aktivitas bermanfaat.
“By the way.. dek Firda sudah pernah
dikhitbah kah?” mbak Rini semangat sekali menanyakan hal ini, entahlah aku
merasa kurang nyaman dengan pertanyaannya.
“Sudah
pernah ada mbak, tapi enggak sampai ke proses ta’aruf” aku menjawab apa adanya, sebetulnya aku malu karena sudah
pasti mbak Rini akan menanyakan lebih lanjut.
“Lha
kenapa? Jangan kebanyakan milih to,
yang pentingkan pemahaman dan aplikasi agamanya sudah mantap” aku mengguk
menyetujuinya, Astagfirullah.. sampai
lupa jika via handpone.
“Dek
Zuhri juga rencananya nanti malam mau menghitbah seorang nisa, tapi alamat
rumahnya jauh sekali, jadi mbak belum tau ikut berangkat ato ndak” mataku
semakin menerawang jauh, ada rasa yang hilang di organ ini, hanya aku dan Penguasa
hati yang tahu.
“Semoga
lancar ya mbak, dan diterima oleh nisanya, tapi kalo mbak ikut apa enggak
kasian dengan Wildannya?” ku tuluskan do’a dan ingin rasanya aku menghamburkan
tangisku.
“Iya
dek, kan maunya dek Zuhri itu menghitbah langsung ngelamar” What?!! Hiks.. hiks.. semua boleh tau
jika aku salah memelihara rasa ini, tapi hatiku juga tak ingin semua jadi tahu
bila aku kecewa dengan kabar ini. Aku belum mengakui bila ada rahasia hati
antara aku dengan Penguasa cinta. Tapi jujur, aku berusaha bahagia, karena ini
lebih baik daripada semua harapanku. Ahh.. perasaanku semakin liar bila tak
segera kutepis dengan segala zikir pembersih hati.
“Halo,..
dek firda?” Suara mbak Rini menyadarkan lamunan batinku.
“Eh,
iya mbak, emang dimana rumah nisa yang akan dikhitbahnya?” aduh, kenapa aku
jadi kepo
“Mbak
juga belum faham, o.iyaa.. aktivitas adek sekarang apa? pasti tambah sibuk,
karna mbak dengar sekarang ngajar sambil jahit..” dengar dari mana pun aku tak
tahu.
“Oh..
kalo ngajarnya masih honorer mbak, jahitnya juga masih belajar” menjadi
keduanya adalah impianku sedari SMA, pilihan telah memberikan jawabannya
kepadaku. Guru dan Penjahit, seharusnya ada tambahan saliha dibelakangnya.
“Kalo
malem, apa jahit juga? Malam senin stay
dirumah kan?” kalau hari minggu aku adalah seorang Pengacara, pengangguran
banyak acara. Terkadang asyarku ada dijalan, magribku ada di tempat tujuan,
minggu adalah hari palling efektif untukku berkelana. Memang betul kata Mbak
Luna Musyrifahku, “berdakwah jangan hanya di hari minggu saja, tapi disetiap
menit ketika ada kesempatan”.
“Kalo
malem senin biasanya pukul 19.30 mbak, Firda baru ada di rumah” terlalu malam
untuk ukuran seorang gadis yang keluar dari siang hari.
“Jangan
terlalu malam, ndak baik, mending ngisi kajiannya kalau siang saja” ku yakini
sebelumnya, mbak Rini akan katakan ini.
“Iya
mbak, tapi rutenya tak jauh kok, masih diseputaran desa ini” sebenarnya sudah
kuatur jadwal halaqoh Winda dan Afrin, tapi entahlah sampai kapan mereka
renggang dari kesibukannya.
“Yang
penting hati-hati, jangan malam ya kalo bisa. Udah dulu ya dek, mbak mo bantu Mamak nyiapin bahan yang
mau dibawa dek Zuhri nanti malam. Wassalamu’alaikum...” Mbak Rini katakan itu
lagi, sebenarnya tak salah, aku saja yang merasa bersalah karena telah
menyimpan nama keponakannya di buku rahasia hati. Aku tak mengerti kenapa rasa
ini menghadiri asaku, padahal sudah kutepis dengan Istighfar berkali-kali, ya
Allah maafkan aku, mohon jaga rahasiaku ini, jangan biarkan selain dirimu tahu
bila sebelum hari ini aku menaruh harapan kepadanya. Aku semakin yakin dan
bersemangat untuk memantaskan diri dengan kata Penguasa rasa, wanita yang baik
hanyalah untuk pria yang baik.
“oke,
Wa’alaikumussalam..” ku eratkan genggamanku, seolah Bbku tak mau tahu dengan kegalauanku.
Sudah
siang, sudah kutepis segala rasa yang sempat berkecamuk, sudah seharusnya aku
bersiap kerumah Alka, lalu mengantarkan pesanan Jilbab bu Lika, halaqoh di
rumah mbak Luna, dan ke rumah Afrin untuk mengisi kajian Islam, lalu malamnya
aku akan menyiapkan soal ujian untuk siswaku dan menjahit pesanan Jilbab mama
Alka. Jadwalku cukup padat, paling tidak aku memiliki kesibukan yang bermanfaat
yang juga bisa membuatku lupa dengan obrolan dengan mbak Rini. Ku angkat si
hitam, ransel penyemangat pundak, pemantap langkah, dan penguat punggung yang
mengikutiku kemana aku pergi.
“Bu,
aku berangkat.. ada kakak didepan” aku tak salim karna posisi Ibu di kamar
mandi, ku lalui kakak yang berada di ruang tamu.
“Pulang
jam berapa nanti Da’?” tumben kak Rafa pagi ini kerumah ibu, mungkin ada hal yang
ingin dibicarakan, karena biasanya jam segini ia sudah pergi bekerja.
“Jam
delapanan kak kayaknya” kukira aku akan pulang lebih malam dari biasanya, aku
ingin ngobrol dulu seputar hati dengan Afrin, sahabatku yang pekan depan akan
melangsungkan pernikahan.
”Kalo
bisa usahakan pulang sebelum jam delapan” agak heran, tak seperti biasanya, apa
mungkin kak Rafa belum mengerti kesibukanku? Ya mungkin saja.
“Insya Allah..” aku tak bisa pastikan,
tapi akan aku usahakan, terpakasa ku urungkan niat untuk berlama-lama di rumah
Afrin.
Senja
bermega menguaskan jingga hingga menghitam, bulat orange juga sudah tampak
tidur dibalik genting-genting desa, sungguh tak ada yang membosankan ketika alam
bedeskripsi tentang Mahanya Sang Creator.
Keasyikan waktu dan jarak mengaktivitaskan agendaku hari ini, kuingat alarm
menjadwalkanku pulang detik ini juga.
“Assalamu’alaikum...” rumahku ramai tak
seperti biasanya, ada beberapa motor parkir di halaman, juga banyak sendal
dihadapan pintu. Langkahku terhenti, jariku bergetar memegang kusen pintu, aku tak
mampu berkata, dadaku sesak sekali, air mata ini ingin kutumpahkan hingga menjadi
lautan yang menganak sungai. Aku bergegas mensalimi Ibu, Ayah, kak Rafa dan
tamu wanita yang duduk tepat disebelah seorang laki-laki yang sering kudengar
namanya.
“Kok
malam pulangnya?..” wanita ini menambah keteganganku
“Oh..
iya bu, karena baru selesai” aku tersenyum malu
Aku
masuk ke kamar, ku lihat semua barang mengikutiku tersenyum. Aku pura-pura
tidak tahu saja, agar mereka menjelaskan sendiri bagaimana kronologinya hingga
kak Zuhri dan orangtuanya bisa sampai disini. Kubiarkan mereka berbincang
tentang tanaman di kebun, tentang musim hujan, tentang pemerintah, tentang PLN
yang sering mati, dan yang terakhir tentang pernikahan. Tak bisa kuceritakan
sepenuhnya sahabat, bagaimana bahagianya aku malam itu hingga tiga minggu
berlalu dan kini kami telah menjadi sepasangsuami istri yang menikah dengan
resepsi Islam syar’i.
“kenapa
kau memilih aku?” aku memandangnya dengan mimik yang kubuat kesal.
“Karna
hatiku telah menetapkan kamu..” aku
belum pernah melihat senyumnya sedekat ini, aku ikut tersenyum meski
belum mengerti apa alasan yang sebenarnya.
“lalu
kenapa tidak bertanya dulu denganku, bila kau ingin datang mengkhitbah, lalu
membicarakan pernikahan atau ta’aruf dulu? Kau melakukannya dengan urutan yang
tak biasa, kau menyatukan dua proses ini” aku menghujani pertanyaan yang
sungguh aku belum mengerti jawabannya.
“Bukankah
kau bahagia ketika aku melakukan ini?..” ahh, aku tak mampu berkata yang lain
lagi, aku juga tak mampu mengelak karna ini benar adanya. Syukur kami
mengembang dalam muhasabah dan tahajud cinta.
Kertas
yang ku remas tiga minggu lalu, yang ku rapikan tiga jam lalu, kuberikan
padanya, Pangeran hati. Di bukannya
perlahan dan kulihat Ia tersenyum.
Senin, 22 November
2014
Bukan
dokter yang pintar, bukan polisi yang tegas, bukan artis yang tampan, juga
bukan pengusaha yang kaya, tapi dikau yang salih, yang menjadikan Islam sebagai
poros hidup, yang menjadikan sabar sebagai teman ujian, yang mampu mencairkan
baja menjadi zam-zam, yang mampu menangis saat bahagia, yang mampu bahagia
ketika luka.
Aku
dan kau... akan satu, akan menapaki ruang rindu dalam tahajud dan duha yang
sama. Ada satu profesi yang ingin ku banggakan dihadapan Allah kelak diawal
pintu kehidupan yang baru, kehidupan yang
tiada mampu ku jangkau dengan akalku saat ini.
“Dia pengemban dakwah tangguhmu ya Rosull”
lantas ku lihat guratan senyum dipipinya... dan kau saat itu ada dihadapanku, kau telah menantikanku
disana dan kau perkenalkan aku dengan manusia paling mulia, paling terkenal
disepanjang zaman, bukan hanya kau yang
ku lihat tetapi ada malaikat-malaikat terindahku... kedua orangtua kita, anak-anak kita dan
saudara-saudara kita. Aku ingin menjadi mujahid bersamamu, meninggal dalam
keadaan khusnul khotimah bersamamu, hingga kita bisa selamatkan 40 orang yang
kita cinta dari api neraka. Aku merindukanmu disetiap waktu, merindukan
nasihat-nasihatmu kelak yang mampu meluluhkan pemikiran liberal ku.
Ya
Robbi andai aku boleh meminta satu
nikmat terindah lagi dan aku tahu Engkau slalu memberikan nikmat-nikmat terindahMu disetiap waktu, disetiap tarikan
nafasku tanpa lupa n khilaf barang semenitpun. Ya Allah aku merindukan jodoh
yang salih, yang mampu menjadikan aku wanita saliha karnaMu. Bantu aku
memantaskan diri ya Robb, sehingga aku bertemu dengannya dalam kesiapan, dalam
keadaan terbaik, dalam keadaan yang mulia.
“Akhi...
ku tunggu dirimu dalam muhasabahku, dan tulisan ini akan kau baca setelah kau
dan aku dalam keberkahan cinta. Kau boleh tau bila aku telah lama menantimu.
Hari ini, kmarin, minggu lalu, dan bahkan bulan lalu aku sudah merindukanmu.
Andai kini kau juga merindukan seseorang, cobalah bersabar, agar aku juga bisa
bersabar. Kita siapkan segalanya dulu ya.. ilmu, agama, dana, dan apa-apa yang
akan menjadi kebutuhan kita kelak. Kau belajar ngaji ya agar nanti kau bisa
ajari aku dan anak-anak kita mengaji, kau belajar dakwah ya, agar kau bisa
tuntun aku hingga kita bisa bersama-sama berjuang, kau juga harus belajar bersabar,
agar nanti kau bisa hadapi aku dan keluargaku dengan baik, kau tahan dulu rasa
cintamu hingga kau ucapkan setelah kita halal..”
Cinta dalam diam, banyak yang menyebut
kalimat itu, memang dalam sekali maknanya, berbeda arti kah dengan diam-diam
suka?? Jelas berbeda. Cinta dalam diam memberikan sejumlah perbaikan diri, ada
muhasabah diri disana. Bukan berarti kita fokus pada kekurangan, tapi kita
fokus pada perbaikan, fokus pada penambahan dari sesuatu yang kurang itu agar
pas, tidak lebih tidak kurang. Cantik juga relatif, kata akhi salih wanita itu
dikatakan cantik atas kebaikan agamanya, atas hijabnya, atas kemuliaan
akhlaknya, dan tak bisa dipungkiri seorang preman pun mengingkan istri yang saliha,
yang baik agama dan akhlaknya. Lalu bagaimana dengan firman Allah yang
menyatakan bahwa “wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, begitu pula
sebaliknya”.. itu artinya kita harus bermuhasabah lebih keras lagi, agar
menjadi wanita yang baik. Eiittss.. niatnya pun harus karna Allah.
Aku takut ya Robb, hijabi hati ini dari cintaku kepada yang
belum halal. Aku ingin menambah cintaku agar teryakinkan olehMu. Aku ingin
merasakan bagaimana indahnya mencintaiMu diatas
cinta-cinta yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar